Prestasi Menentukan Posisi atau Posisi Menentukan Prestasi?

Suasana kerja di kantor hari ini terasa kurang kondusif (atau cuma pikiranku saja yang sedang tidak kondusif? entahlah). 
Setelah sedikit ngobrol dengan rekan kantor untuk relaksasi pikiran. Ada kata-kata yang sedikit menyentil pikiran "prestasi menentukan posisi atau posisi menentukan prestasi". Awal muncul kata-kata tersebut adalah ketika kami sedang membicarakan masalah promosi di kantor. Dan kalau bicara soal promosi, pasti tidak jauh-jauh dari yang namanya posisi atau jabatan.

Dalam bekerja masalah penempatan, mutasi (perpindahan) dan promosi (kenaikan jabatan) adalah sesuatu yang biasa. Hal-hal tersebut bagian dari dinamika kerja dalam organisasi. Tentulah di antara sekian banyak pekerja harus ada yang menjadi pemimpin dan harus ada yang dipimpin. Pemimpin suatu saat juga akan digantikan oleh yang terpilih di antara yang dipimpin. Demikian juga dengan pekerja yang sudah purna tugas akan digantikan dengan manusia-manusia baru. Begitu seterusnya.

Selain itu, dalam organisasi juga harus ada pemerataan sumber daya manusia, pemerataan kemampuan setiap pekerja dan pemerataan pengalaman. Pemerataan tersebut dibutuhkan dalam suatu organisasi, agar organisasi tersebut terus berjalan kondusif dengan segala tantangan yang ada dan mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk itulah dilakukan mutasi dan promosi seperti yang saya singgung diawal tadi dengan maksud agar bisnis suatu organisasi dapat terus berjalan dan pada akhirnya meraih tujuan yang diinginkan.

Namun setelah saya berpikir lagi tentang hal tersebut. Timbul pertanyaan. Apa kriteria seseorang untuk mendapatkan suatu posisi tertentu?. Apa korelasi prestasi yang dicapai dengan posisi yang diduduki?. atau pertanyaan seperti dalam judul tadi, prestasi menentukan posisi atau posisi menentukan prestasi?.

Mungkin ketika sekolah atau kuliah, istilah "posisi menentukan prestasi" sering kita dengarkan. Misalnya bila tempat duduk ujian kita di bangku paling depan maka kebanyakan prestasinya cenderung kurang baik (entah itu faktor tekanan psikis kebanyakan orang atau karena tidak bisa tanya teman, hehe, entahlah). Ada juga yang mengartikan jika posisi kita dekat (akrab) dengan dosen/guru maka urusan nilai sudah pasti beres. Sekali lagi, entahlah.

Nah, apakah di dunia kerja istilah seperti itu tetap berlaku?. Sekali lagi saya tegaskan dalam dunia kerja semuanya bisa terjadi. Unpredictable. Akan tetapi, istilah yang tepat digunakan mungkin kebalikannya yaitu "prestasi menentukan posisi". Dalam dunia kerja, hubungan variabel posisi dan prestasi jelas terkait sekali, bahkan tidak bisa dipisahkan. Namun, posisi tidak hanya terkait dengan variabel prestasi semata. Masih ada variabel kemampuan (baik soft skills dan hard skills), perilaku, integritas dll. Posisi yang diduduki seseorang dalam suatu organisasi pastilah tidak jauh kaitannya dengan prestasi yang dicapai. Prestasi yang dimaksud tentunya dalam berbagai aspek, misalnya prestasi terkait target yang dicapai, prestasi menyelesaikan suatu masalah tertentu, prestasi dalam disiplin, prestasi dalam kejujuran, dll.

Lalu bukan berarti istilah "posisi menentukan prestasi" tidak berlaku juga. Jika kita berada dalam posisi di sekitar orang-orang yang mendukung untuk maju. Pasti prestasi bagus juga akan dapat kita capai. Selain itu, faktor relasi dengan banyak dengan berbagai orang (bisa kita analogikan sebagai variabel posisi) dapat mendukung kita meraih prestasi dalam bekerja. Jadi, "posisi menentukan prestasi" menurut saya juga tidak salah, selama tidak melanggar peraturan dan dalam konteks yang positif.

Menurut saya entah itu prestasi yang menentukan posisi ataukah posisi yang menentukan prestasi, semuanya sama saja. Tergantung sudut pandang kita menyikapinya. Toh selama kita bekerja dengan baik, penuh semangat, dan kerja keras, prestasi atau pun posisi akan datang menghampiri kita.Yang terpenting jangan jadikan keinginan meraih posisi tertentu menjadi tujuan kita dalam bekerja. Karena dengan demikian kita tidak akan bisa bekerja dengan nikmat dan menikmati pekerjaan. So just enjoy your work.

Militan?

Matahari mulai terbenam di ujung barat. Pemandangan itu terlihat jelas dari jendela sebuah gedung di Jakarta. Bak sebuah lukisan beraliran realisme dalam sebuah bingkai jendela. Petang itu seorang pegawai masih mengerjakan tugasnya, padahal jam kerja sudah habis. Sementara di bangku seberang mejanya terlihat para atasan sedang berbincang-bingcang.

"Pegawai seperti apa yang anda butuhkan Pak?", seloroh seorang atasan kepada atasan lain.
"Saya butuh pegawai yang tidak perlu pinter-pinter banget, yang penting mau kerja dan militan." sahut atasan yang ditanya tadi.
"Mmm...", timpal atasan yang bertanya sambil tidak berkomentar. Entah apa kelanjutan percakapn mereka.

Sejenak si pegawai menghentikan pekerjaannya dan berpikir tentang sebuah kata "militan". Dalam hatinya sedikit terganjal dengan kata itu. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan pun diabaikan begitu saja. Fokusnya sudah hilang karena sebuah kata "militan". Dalam pikiran ia terus mencari-cari apa maksud militan tersebut. Apakah yang dimaksud militan itu adalah seperti tentara militer? atau seperti para pahlawan kemerdekaan? atau seperti tokoh-tokoh super hero (Batman, Superman, Spiderman, P-Man?). Pikirannya terus membayangkan tentang apa yang disebut militan.

Ya masa seorang karyawan yang mengurusi administrasi dan berhubungan dengan berkas-berkas harus bekerja layaknya tentara atau pejuang atau superhero? pikirnya sambil tertawa geli membayangkanya. Lalu si karyawan tersebut mulai membayangkan tentang militan tersebut, apakah seperti tentara? yang harus melaksanakan segala perintah komandan tanpa terkecuali. Kalau seperti itu harus perintah yang salah pun berarti harus dilakukan. Komandan bilang maju ya harus maju, komandan bilang mundur ya harus mundur, meskipun di depan dan di belakang adalah jurang. Kalau seperti itu tentu saja tidak bisa dilakukan, namanya bekerja kan harus profesional dan sesuai aturan, bukan sesuai perintah bos.

Atau seperti pejuang? ya kalau pejuang lebih ngeri lagi. Dia berjuang sampai dengan darah penghabisan. Lalu apakah harus bekerja dengan mempertaruhkan nyawa. Hmm... sepintas apa yang dia bayangkan menjadi gelap, dan tidak mau lagi melanjutkan bayangannya tadi. Lalu kemudian dia mulai tertawa sendiri, ketika membayangkan bekerja dengan sebuah kostum superhero entah itu kostum Batman atau Spiderman atau bahkan P-Man. Tentu sangat lucu apabila ke kantor dan bekerja di depan komputer dengan kostum seperti itu.

Sembil tersenyum sendiri dan kadang tertawa geli, si karyawan tersebut terus membayangkan hal lucu tadi. Tiba-tiba lamunannya dikagetkan dengan suara besar dan tegas, dan sepertinya suara itu tidak asing di telinganya.
"Ehmmm....". bunyi suara itu.
"I..i..yaa.. Pak". sahut si karyawan tadi.
"Sedang apa kamu?", imbuh suara besar tadi yang tidak lain adalah bosnya.
"Se..sedang mengerjakan pekerjaan untuk rapat besok Pak". jawab si karyawan tadi.
"Hmm.. bagus, seperti ini pegawai militan yang saya butuhkan." tegas si bos tersebut dengan menepuk pundak si karyawan.
 Si karyawan tersebut pun seketika terdiam setelah mendengar perkataan tersebut. 
 

Kerja Keras VS Status Akademis

Sebuah paradigma baru dalam dunia kerja, ketika etos kerja seakan terlihat sumir dibanding derajat pendidikan yang dimiliki seseorang. Mungkin hal seperti itu yang tengah terjadi dalam dunia kerja saat ini. Dimanapun tempat bekerjanya (entah itu swasta, BUMN, pemerintah maupun wiraswasta). Hal seperti ini akan sering dijumpai. Mindset para perekrut tenaga kerja atau atasan, lebih melihat status akademis seseorang dari pada etos kerja yang ada. Tidak dipungkiri semakin maju zaman, semakin diperlukan sumber daya manusia yang kompeten, dan salah satu "indikator instan" untuk menentukan kriteria "kompeten" adalah status akademis. Semakin tinggi akademis seseorang maka "nilai jualnya" pun akan semakin tinggi.

Ya beginilah keadaannya, itulah realita yang harus dihadapi. Mungkin kini banyak orang-orang yang berlomba-lomba mencari gelar kesana kemari. Hanya demi sebuah pengakuan yang tersemat pada namanya. Padahal tidak sedikit juga mereka yang mendapatkan gelar atau status akademis dengan cara yang tidak benar.

Lalu bagaimana jika seseorang memiliki etos kerja tinggi dan ulet, tetapi status akademis mereka tidak diperhitungkan? Ini juga kelanjutan realita tadi. Tidak ada jalan lain selain menghadapi tantangan dan  membuktikannya. Bukan berarti seseorang yang tidak bersekolah sekalipun harus kalah dengan seorang professor. Jika orang yang tidak bersekolah tersebut mau bekerja keras, jauh lebih baik daripada seorang professor yang hanya pandai beretorika saja.

Pada intinya semua bermuara ke kerja keras. Percuma embel-embel gelar yang panjang tanpa ada kontribusi nyata. Apalagi yang gag punya gelar dan tidak memiliki kontribusi, mau jadi apa??. Tapi sebaliknya dengan kerja keras, sepanjang maupun sependek apapun gelar akademis, maka  kesuksesan akan datang menghampiri. (Sebuah catatan dari pengalaman hidup).

Perbedaan SARANA dan PRASARANA?

Bermula dari pertanyaan mengenai apa perbedaan arti sarana dan prasarana, jadi kepikiran untuk posting hal ini. Sekedar berbagi pengetahuan saja, mungkin bisa bermanfaat.

Arti kata "sarana" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah 1. segala sesuatu yang dapat  dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan; alat; media. 2. Syarat, upaya.
Arti kata "prasarana" menurut KBBI adalah segala sesuatu yg merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dsb).

Kalo kesimpulan dari saya sih,
-. Sarana ---> falilitas yang dipakai secara langsung atau yang utama.
-. Prasarana ---> fasilitas penunjang/pendukung (penunjang dari sarana).

Contoh: Dalam bidang transportasi darat kita dapat menyebut mobil, motor, bis, taksi sebagai sarana transportasi karena digunakan secara langsung oleh orang. Sedangkan fasilitas pendukung seperti jalan, rambu-rambu, lampu lalu lintas dapat kita sebut sebagai prasarana.

Mohon maaf kalo ada kesalahan.

Bulutangkis Indonesia, antara “Merosot” atau “Jalan di tempat”


Langsung saja to the point. Sebagai pecinta bulutangkis, saya merasa kecewa dengan keadaan perbulutangkisan Indonesia saat ini. Prestasi yang selama ini selalu ditorehkan melalui pukulan-pukulan shuttlecock anak bangsa kini sudah tidak terdengar lagi gelegarnya. Garuda yang dulu terbang di angkasa dengan gagahnya, kini pun harus terkulai lemah tak mengepakkan sayapnya, tertunduk sementara negara lain melesat. Saya kecewa, tapi bukan putus asa. Saya kecewa tetapi tetap berharap Indonesia kembali jaya. Dulu bisa dibilang negara kita ini adalah raja dari olahraga “adu smash bulu angsa” ini, bahkan setiap negara bila mendengar nama Indonesia pasti sudah merinding bulu kudunya. Betapa tidak, kita memiliki pemain yang handal  yang menjuarai berbagai turnamen seperti All England, Thomas and Uber Cup sampai Olimpiade. Bahkan kita pernah menyandingkan piala Uber dan Thomas, menjadi lengganan peraih medali emas di olimpiade apalagi kejuaraan-kejuaraan terbuka di berbagai negara. 

Sebut saja nama-nama besar yang menjadi “suhu/guru” seperti Liem Swie King, Haryanto Arbi, Tan Juk Hoek, Alan Budikusuma, Susi Susanti dan masih banyak lagi nama besar lainnya. Generasi tersebut digantikan dengan yang lebih muda, justru prestasi semakin menurun. Tradisi emas dan juara berangsur-angsur hilang. Dulu kita sempat dijuluki raja di dunia bulutangkis, tapi kini sudah tidak lagi. Sekarang dengan negara yang kualitasnya di bawah kita pun sudah tunduk, lihat saja Korea, Jepang bahkan Malaysia sudah menyalip kulitas kita. Apalagi Cina yang semakin tidak bisa terkejar baik dari segi prestasi maupun kualitas. Terkadang juga saya berpikir sebenarnya apakah bulutangkis kita “jalan di tempat” dan negara lain melesat atau justru bulutangkis kita yang merosot. Entahlah. Yang jelas pasti ada yang tidak beres dalam perbulutangkisan kita. Entah itu cara regenerasi pemain, pembinaan, fasilitas, pengurus, atlit dan juga semua warga Indonesia juga intropeksi diri. 

Kekecewaan saya tidak ada tendensius apa-apa. Hanya ingin menulis uneg-uneg yang mungkin bisa membuat sedikit mata kita terbuka. Mari kita perbaiki semuanya, mulai dari diri kita sendiri, paling tidak banggalah dengan olahraga ini. Karena olahraga inilah yang membuat negara kita dikenal di dunia, tentunya dalam hal yang positif bukan hanya hal negatif yang dikenal negara lain seperti Indonesia sarang koruptor, teroris, kemiskinan dllllll…. Jangan juga menghakimi dan menyalahkan pemain yang gagal dalam bertanding, tentunya pasti kalau kita berada di posisi mereka belum tentu bisa berbuat lebih. Pun juga pemain juga jangan lantas berjumawa bila menang, apalagi jumawa saat kalah. Apalagi ada skandal “bulutangkis gajah” di Olimpiade 2012 London, yang tidak menjunjung sportifitas sama sekali. Masa main untuk kalah??? WTF?? Yang paling penting dilakukan pemain adalah terus berlatih keras dan memenangkan setiap pertandinagn demi bangsa dan negara, toh pada akhirnya juga untuk pribadi sang pemain sendiri. 

Pelatih pun juga harus intropeksi diri, pemain pasti melakukan  apa yang diinstruksikan pelatihnya. Jadi hendaknya yang diinstruksi yang diberikan memotivasi pemain untuk berjuang meraih kemenangan tetapi tetap menjunjung nilai sportifitas. Sementara untuk para pengurus perbulutangkisan, baik itu di tingkat daerah maupun sampai pusat hendaknya membuat perencanaan, pembinaan dan memberi fasilitas yang memadai guna merangsang dan mencetak pemain yang hebat. Dulu saja dengan organisasi yang seadanya apalagi fasilitas yang bisa dibilang kurang, tapi bisa mencetak pemain-pemain hebat. Apalagi sekarang, dengan keadaan yang jauh lebih tertata dan modern harusnya lebih bisa lebih mencetak pemai-pemain yang hebat.

Pembinaan, satu kata yang tidak dapat dipisahkan dari unsur merebut prestasi. Ya, unsur inilah yang harus selalu diperhatikan terutama oleh pengurus dan pelatih. Tanpa pembinaan, mustahil prestasi yang baik akan muncul dengan sendirinya. Pembinaan hendaknya dilakukan mulai dari bawah secara sistematis, terencana dan selalu dimonitor. Bukan hanya berpusat pada pembinaan di level pelatnas saja, tapi di daerah-daerah juga harus diperhatikan. Siapa tahu ada atlet daerah yang memiliki kemampuan melebihi atlet di pelatnas, dan hanya karena tidak beruntung dan tidak terpantau pengurus kemudian tidak bisa ikut membela mengharumkan bangsa.

Saya justru salut dengan perusahaan-perusahaan swasta yang ikut menyumbangkan dana demi kemajuan olahraga yang mengharumkan bangsa ini. Sebut saja PT. Djarum yang konsisten melakukan pembinaan pemain dari usia muda bahkan sampai senior, tidak hanya itu bahkan mereka menyponsori ajang Indonesia Open. Selain itu, ada juga Alfamart yang juga rutin menyelenggarakan kejuaraan pemain-pemain muda, hal ini juga turut membantu dalam mencari pemain-pemain berbakat yang nantinya bisa diandalkan untuk melanjutkan generasi sebelumnya. Saya menulis ini tidak karena dibayar kedua perusahaan itu dan tanpa tendensius apa-apa. Semata hanya bentuk penghargaan karena ikut membangun perbulutangkisan Indonesia.

Dan pada akhirnya, saya hanyalah warga biasa yang mencintai bulutangkis yang hanya bisa menulis seperti ini. Mungkin banyak orang di luar sana yang memiliki pemikiran sama. Bentuk kerinduan akan masa keemasan. Mari kita bangun kembali semangat kemenangan. Saya tahu, berkomentar dan menulis seperti ini lebih mudah dibandingkan mempraktekkan. Untuk itu, mari kita bersama-sama membangun kembali masa keemasan itu. Tanggung jawab itu bukan hanya di pundak pemain saja, pelatih saja, pengurus atau sponsor. Tanggung jawab ini adalah beban kita semua, Indonesia.

Kata-kata ringan penuh makna

Dalam berinteraksi dengan sesama entah itu teman, saudara, rekan kerja, kolega atau bahkan atasan mungkin kita sering melupakan beberapa kata-kata atau ucapan seperti yang ada di bawah ini. Mungkin terkesan simpel, sepele, ringan atau bahkan banyak yang menganggap suatu basa-basi. Tapi sesungguhnya memiliki makna yang luar biasa apalagi bagi yang mendengarnya. Serta menimbulkan suatu ikatan emosional (batin) baik yang mengucapkan atau yang mendengarkan. Kata-kata itu adalah

1. Terima kasih
Biasakanlah mengucapkan "terima kasih" jika kita telah ditolong atau telah diberi sesuatu oleh siapa pun, jika kita tidak bisa membalas pemberian atau pertolongan itu, setidaknya kita telah membalas dengan ucapan tersebut. Dengan mengucapkan "terima kasih" membuat orang yang memberi ataupun menolong menjadi ikut bahagia. Dan bayangkan jika kita yang memberi atau menolong, dengan mendengar kata tersebut membuat kita tersenyum sekalipun kita menolong dengan mengorbankan diri kita.

2. Maaf
Jika kita melakukan kesalahan kepada orang lain baik disengaja ataupun tidak. Sudah sepantasnya kita meminta maaf kepada orang tersebut. Kata tersebut paling tidak bisa meredakan marah dari orang yang kita buat salah, selain itu dengan ucapan maaf membuat satu sama lain tidak memendam dendam. Jika orang tersebut tidak mau memaafkan kita, ya terserah dia yang jelas kita sudah meminta maaf. Tuhan saja Maha Pemaaf, masa kita?

3. Tolong
Nah, ini kata yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang. Terkadang kita menyuruh orang lain (entah itu siapa saja) tanpa didahului kata "tolong". Kata yang sepele, namun terkadang bisa membuat orang lain tersinggung. Misalnya kita menyuruh teman kita mengambilkan minum dengan perkataan, "Ambilin gue minum dong!". Meskipun kita tidak bermaksud menyuruh mereka, namun hal tersebut seakan-akan kita semena-mena dan kurang sopan bahkan mungkin membuatnya tersinggung karena seperti pesuruh saja. Hal ini lebih pada sisi kesopanan dan menjaga perasaan. Ingat, kita sama dengan teman kita tidak ada yang lebih di atas atau di bawah. Untuk itu setidaknya setiap menyuruh orang lain kita tambahkan kata "TOLONG" didepannya. Bayangkan jika menjadi yang disuruh tanpa ucapan "tolong"?

4. Hati-hati
Kata-kata yang sering kita ucapkan saat mengantar seseorang yang akan pergi atau meninggalkan kita. Mungkin sepintas terdengar sebagai suatu basa-basi, tapi bagi yang mendengarkan kata tersebut tentunya akan merasa senang karena mendapat perhatian dari orang lain. Setiap manusia tentu membutuhkan perhatian. Dan mungkin dengan kata ringan tersebut yang kita ikhlas ucapkan untuk teman, keluarga dan orang lain saat pergi meninggalkan kita bisa membuat mereka menempuh perjalanan dengan selamat sampai tujuan dan setidaknya menyumbang perhatian kita kepada sesama. Ya sesama manusia harus saling memberi perhatian, itulah kehidupan.

Mungkin itu dulu yang bisa saya tulis (udah buntet pikiran),  udah malem juga, saatnya pulang kantor dan kembali ke kost untuk melepas lelah. Semoga kita bisa menyempatkan bibir dan lidah kita untuk mengucap kata-kata tersebut kepada siapa pun.  ^^

Suara hati dari kota rantau

Sudah hampir empat bulan hidup di ibukota. Dengan segala macam hiruk pikuk manusia yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dengan panorama yang membuat mata pedih. Betapa tidak, setiap hari yang tersaji di hadapan hanya lalu lalang kendaraan yang saling berburu waktu. Manusia berjubel tidak karuan dalam kendaraan umum, yang penting mereka terangkut sampai tujuan (Hah..). Kemacetan sudah jadi hal biasa, ya bener-benar hal biasa, namun tetap tidak bisa membuatku terbiasa dengan keadaan ini. Debu kotor pun mau tak mau harus terhirup ke dalam paru-paru yang sengaja saya sterilkan dari asap rokok dan asap-asap lainnya. Ditambah gedung-gedung tinggi yang berdiri kaku, seakan menambah keangkuhan kota ini.

Ya begitulah keadaan yang saya rasakan selama ini, setidaknya sampai saya menulis tulisan  ini. Selama ini saya hidup di kota yang panas ini demi suatu “pengabdian” atau mungkin lebih tepatnya “penantian” atau mungkin lebih cocok disebut “pengharapan” atau mungkin “?”, entahlah. Dengan segala masalah dan beban yang ada,  tetapi saya mencoba melalui ini semua. Ya biarkan saya sendiri yang merasakan ini, keluarga ataupun orang terdekat tak perlu ikut merasakan atau memikirkan yang saya alami. Bukan karena introvert, tapi hanya tidak ingin menambahi pikiran dan beban mereka. Sudah saatnya saya berdiri di atas kaki sendiri. Anggap saja ini sebagai bagian perjalanan hidup yang akan menuntun ke perjalanan  yang lebih baik dan hebat (i hope). Semua masa yang indah dan nyaman pasti melalui masa-masa yang berat untuk mencapainya. Dan mungkin masa yang berat itu sedang saya alami sekarang, dan masa yang indah sedang menantiku disana. Setidaknya hal ini lah pelajaran yang berharga di tengah kota yang sudah penuh sesak ini. 

Autosave (Save Otomatis) Ms. Office

Latar belakang saya share postingan ini adalah karena pengalaman waktu kerja di kantor yang bikin jengkel abis (bener-bener jengkel). Jadi ceritanya waktu saya lagi asyik-asyiknya ngerjain kerjaan kantor pake Ms. Word dan emang kerjaannya cukup penting. Tiba-tiba komputer yang saya pake mati (nah looo). Mana belum aku save tuh kerjaan. Sistem auto save-nya juga belum saya aktifkan. Ya dengan hati yang berkecamuk, jengkel, gundah-gulana (pokoknya gag enak bgt deh). Secara kerjaan yang udah dibuat dengan susah payah harus hilang tanpa bekas (hik..hikk). Ya mau gag mau harus ngerjain dari awal lagi, dan itu rasanya bener-bener gag enak banget.
Biar teman-teman gag mengalami hal yang sama seperti yang saya alami tadi. Atau sekedar buat berjaga-jaga kalau da sesuatu yang tidak kita inginkan, misalnya listrik mati tiba-tiba atau kita lupa menyimpan data, saya ada sedikit tips yang  sepele tapi mungkin dapat membantu sekali. Ternyata Ms. Office memiliki fitur auto save untuk melakukan penyimpanan data meskipun kita lupa menyimpan data tersebut. Kebetulan yang saya pake Ms. Office 2007, dan mungkin untuk office versi yang baru tidak jauh berbeda fiturnya. Tips mengaktifkan auto save
itu sebagai berikut:

  1. Sebelum kita memulai pekerjaan menggunakan Ms. Office (Ms. Word, Excel, Power Point atau yang lainnya). Ada baiknya kita sempatkan waktu sedikit untuk melakukan setting ini. Ya kadang kalo udah semangat ngerjain sesuatu kita keburu bernafsu menyelesaikannya, giliran data gag tersimpan jadi kacau pikiran.
  2. Oke langsung aja ke cara mengatur setting auto save, pertama buka Ms. Office yang akan digunakan untuk melakukan pekerjaan (Ms. Word, Ms. Excel, Ms. Power Point atau yang lainnya). Klik icon Windows di pojok kiri atas, kalo gag tahu seperti ini gambarnya:
  3. Kemudian pilih Word Options yang letaknya paling bawah, seperti pada gambar di bawah: 
  4.  Kemudian akan muncul jendela Word Option, pilih Save dan kemudian atur settingan Save AutoRecover information, pengaturan ini bermaksud agar data yang kita kerjakan akan disimpan secara otomatis setiap jangka waktu yang kita tentukan (dalam menit).
  5. Terakhir klik Ok, dan silahkan memulai pekerjaan tanpa takut data tersebut hilang atau tidak tersimpan. Sebagai tips tambahan, sebaiknya sebelum mengerjakan kita simpan dahulu file tersebut (walaupun masih kosong) kemudian lakukan settingan seperti di atas. 

    Semoga dapat membantu. ^^