Bulutangkis Indonesia, antara “Merosot” atau “Jalan di tempat”


Langsung saja to the point. Sebagai pecinta bulutangkis, saya merasa kecewa dengan keadaan perbulutangkisan Indonesia saat ini. Prestasi yang selama ini selalu ditorehkan melalui pukulan-pukulan shuttlecock anak bangsa kini sudah tidak terdengar lagi gelegarnya. Garuda yang dulu terbang di angkasa dengan gagahnya, kini pun harus terkulai lemah tak mengepakkan sayapnya, tertunduk sementara negara lain melesat. Saya kecewa, tapi bukan putus asa. Saya kecewa tetapi tetap berharap Indonesia kembali jaya. Dulu bisa dibilang negara kita ini adalah raja dari olahraga “adu smash bulu angsa” ini, bahkan setiap negara bila mendengar nama Indonesia pasti sudah merinding bulu kudunya. Betapa tidak, kita memiliki pemain yang handal  yang menjuarai berbagai turnamen seperti All England, Thomas and Uber Cup sampai Olimpiade. Bahkan kita pernah menyandingkan piala Uber dan Thomas, menjadi lengganan peraih medali emas di olimpiade apalagi kejuaraan-kejuaraan terbuka di berbagai negara. 

Sebut saja nama-nama besar yang menjadi “suhu/guru” seperti Liem Swie King, Haryanto Arbi, Tan Juk Hoek, Alan Budikusuma, Susi Susanti dan masih banyak lagi nama besar lainnya. Generasi tersebut digantikan dengan yang lebih muda, justru prestasi semakin menurun. Tradisi emas dan juara berangsur-angsur hilang. Dulu kita sempat dijuluki raja di dunia bulutangkis, tapi kini sudah tidak lagi. Sekarang dengan negara yang kualitasnya di bawah kita pun sudah tunduk, lihat saja Korea, Jepang bahkan Malaysia sudah menyalip kulitas kita. Apalagi Cina yang semakin tidak bisa terkejar baik dari segi prestasi maupun kualitas. Terkadang juga saya berpikir sebenarnya apakah bulutangkis kita “jalan di tempat” dan negara lain melesat atau justru bulutangkis kita yang merosot. Entahlah. Yang jelas pasti ada yang tidak beres dalam perbulutangkisan kita. Entah itu cara regenerasi pemain, pembinaan, fasilitas, pengurus, atlit dan juga semua warga Indonesia juga intropeksi diri. 

Kekecewaan saya tidak ada tendensius apa-apa. Hanya ingin menulis uneg-uneg yang mungkin bisa membuat sedikit mata kita terbuka. Mari kita perbaiki semuanya, mulai dari diri kita sendiri, paling tidak banggalah dengan olahraga ini. Karena olahraga inilah yang membuat negara kita dikenal di dunia, tentunya dalam hal yang positif bukan hanya hal negatif yang dikenal negara lain seperti Indonesia sarang koruptor, teroris, kemiskinan dllllll…. Jangan juga menghakimi dan menyalahkan pemain yang gagal dalam bertanding, tentunya pasti kalau kita berada di posisi mereka belum tentu bisa berbuat lebih. Pun juga pemain juga jangan lantas berjumawa bila menang, apalagi jumawa saat kalah. Apalagi ada skandal “bulutangkis gajah” di Olimpiade 2012 London, yang tidak menjunjung sportifitas sama sekali. Masa main untuk kalah??? WTF?? Yang paling penting dilakukan pemain adalah terus berlatih keras dan memenangkan setiap pertandinagn demi bangsa dan negara, toh pada akhirnya juga untuk pribadi sang pemain sendiri. 

Pelatih pun juga harus intropeksi diri, pemain pasti melakukan  apa yang diinstruksikan pelatihnya. Jadi hendaknya yang diinstruksi yang diberikan memotivasi pemain untuk berjuang meraih kemenangan tetapi tetap menjunjung nilai sportifitas. Sementara untuk para pengurus perbulutangkisan, baik itu di tingkat daerah maupun sampai pusat hendaknya membuat perencanaan, pembinaan dan memberi fasilitas yang memadai guna merangsang dan mencetak pemain yang hebat. Dulu saja dengan organisasi yang seadanya apalagi fasilitas yang bisa dibilang kurang, tapi bisa mencetak pemain-pemain hebat. Apalagi sekarang, dengan keadaan yang jauh lebih tertata dan modern harusnya lebih bisa lebih mencetak pemai-pemain yang hebat.

Pembinaan, satu kata yang tidak dapat dipisahkan dari unsur merebut prestasi. Ya, unsur inilah yang harus selalu diperhatikan terutama oleh pengurus dan pelatih. Tanpa pembinaan, mustahil prestasi yang baik akan muncul dengan sendirinya. Pembinaan hendaknya dilakukan mulai dari bawah secara sistematis, terencana dan selalu dimonitor. Bukan hanya berpusat pada pembinaan di level pelatnas saja, tapi di daerah-daerah juga harus diperhatikan. Siapa tahu ada atlet daerah yang memiliki kemampuan melebihi atlet di pelatnas, dan hanya karena tidak beruntung dan tidak terpantau pengurus kemudian tidak bisa ikut membela mengharumkan bangsa.

Saya justru salut dengan perusahaan-perusahaan swasta yang ikut menyumbangkan dana demi kemajuan olahraga yang mengharumkan bangsa ini. Sebut saja PT. Djarum yang konsisten melakukan pembinaan pemain dari usia muda bahkan sampai senior, tidak hanya itu bahkan mereka menyponsori ajang Indonesia Open. Selain itu, ada juga Alfamart yang juga rutin menyelenggarakan kejuaraan pemain-pemain muda, hal ini juga turut membantu dalam mencari pemain-pemain berbakat yang nantinya bisa diandalkan untuk melanjutkan generasi sebelumnya. Saya menulis ini tidak karena dibayar kedua perusahaan itu dan tanpa tendensius apa-apa. Semata hanya bentuk penghargaan karena ikut membangun perbulutangkisan Indonesia.

Dan pada akhirnya, saya hanyalah warga biasa yang mencintai bulutangkis yang hanya bisa menulis seperti ini. Mungkin banyak orang di luar sana yang memiliki pemikiran sama. Bentuk kerinduan akan masa keemasan. Mari kita bangun kembali semangat kemenangan. Saya tahu, berkomentar dan menulis seperti ini lebih mudah dibandingkan mempraktekkan. Untuk itu, mari kita bersama-sama membangun kembali masa keemasan itu. Tanggung jawab itu bukan hanya di pundak pemain saja, pelatih saja, pengurus atau sponsor. Tanggung jawab ini adalah beban kita semua, Indonesia.