Suara hati dari kota rantau

Sudah hampir empat bulan hidup di ibukota. Dengan segala macam hiruk pikuk manusia yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dengan panorama yang membuat mata pedih. Betapa tidak, setiap hari yang tersaji di hadapan hanya lalu lalang kendaraan yang saling berburu waktu. Manusia berjubel tidak karuan dalam kendaraan umum, yang penting mereka terangkut sampai tujuan (Hah..). Kemacetan sudah jadi hal biasa, ya bener-benar hal biasa, namun tetap tidak bisa membuatku terbiasa dengan keadaan ini. Debu kotor pun mau tak mau harus terhirup ke dalam paru-paru yang sengaja saya sterilkan dari asap rokok dan asap-asap lainnya. Ditambah gedung-gedung tinggi yang berdiri kaku, seakan menambah keangkuhan kota ini.

Ya begitulah keadaan yang saya rasakan selama ini, setidaknya sampai saya menulis tulisan  ini. Selama ini saya hidup di kota yang panas ini demi suatu “pengabdian” atau mungkin lebih tepatnya “penantian” atau mungkin lebih cocok disebut “pengharapan” atau mungkin “?”, entahlah. Dengan segala masalah dan beban yang ada,  tetapi saya mencoba melalui ini semua. Ya biarkan saya sendiri yang merasakan ini, keluarga ataupun orang terdekat tak perlu ikut merasakan atau memikirkan yang saya alami. Bukan karena introvert, tapi hanya tidak ingin menambahi pikiran dan beban mereka. Sudah saatnya saya berdiri di atas kaki sendiri. Anggap saja ini sebagai bagian perjalanan hidup yang akan menuntun ke perjalanan  yang lebih baik dan hebat (i hope). Semua masa yang indah dan nyaman pasti melalui masa-masa yang berat untuk mencapainya. Dan mungkin masa yang berat itu sedang saya alami sekarang, dan masa yang indah sedang menantiku disana. Setidaknya hal ini lah pelajaran yang berharga di tengah kota yang sudah penuh sesak ini. 

No comments:

Post a Comment