Sepintas kalimat judul postingan di atas nampak indah kalau
dipadukan dengan untaian kalimat puitis lainnya untuk dijadikan sebuah puisi.
Hmmm.. tapi sekarang bukan lagi mau bikin puisi atau cerita galau gag jelas
seperti postingan sebelumnya. Lebih menyentuh dunia realita walau sedikit terbelenggu
dalam buaian fatamorgana. Ya seperti selangkah kaki di kehidupan nyata dan
selangkah kaki yang lainnya masih dalam angan-angan.
Menanti hari esok. Itu lah yang saya lakukan untuk beberapa
hari yang lalu (bahkan dalam hitungan beberapa bulan yang lalu) dan mungkin
akan berlanjut beberapa hari ke depan atau bahkan beberapa bulan ke depan (so
poor). Seolah-olah “menanti hari esok” adalah sesuatu yang indah, bahkan
kalimat itu sering diartikan sebagai pengharapan bahwa hari besok yang
dinanti-nanti adalah hari penuh kebahagiaan, kejutan, pokoknya sesuatu yang
menyenangkan. Itu gambaran yang sering saya tangkap ketika membaca beberapa
puisi.
Hey.. terus bagaimana makna “menanti hari esok” dalam
kehidupan saya sekarang? Sebagai pengangguran (semoga sementara, amiin) makna
kalimat itu jelas berkebalikan dengan gambaran puisi-puisi yang pernah saya
baca. Ya iyalah, orang setiap hari yang ditunggu cuma hari berikutnya,
benar-benar “menyenangkan” bukan???
Jadi teringat kata-kata senior kampus dulu yang pernah jadi
pembicara dalam kuliah umum. “Ya, kerjaan saya selama itu hanyalah ..menanti
hari esok..”, kira-kira begitu lah perkataannya. Walau pun yang dibicarakan
tidak sesuai kondisi yang saya alami sekarang. Paling gag ada kemiripannya dan
paling gag menginspirasi postingan ini.
Bukannya saya gag mau kerja atau malas (sedikit betul juga
sih, ups). Tapi memang keadaan yang membuat saya seperti ini. Seperti kata-kata
di awal tadi, keadaanku serba ditengah-tengah, dilema, ironis (halah). Selama
ini menunggu pengumuman nasib yang selama 3 tahun saya perjuangkan di kampus
almamaterku dulu. Tapi pengumuman itu tak kunjung keluar. Hingga akhirnya yang
dulunya “menanti pengumuman” kini berubah “menanti esok hari”. Saking lamanya
pengumuman itu keluar, gag sadar waktu yang telah saya gunakan untuk “menanti
hari esok” sudah hampir 3 bulan. Wowww, tahu gitu mending kerja aja dulu. Tapi
gimana lagi, nasi udah menjadi bubur bahkan karak.
No comments:
Post a Comment