Olahraga satu ini sangat saya senangi dari kecil. Sejak
kecil saya sudah diajari bapak saya untuk bermain menangkis bulu angsa ini.
Saya masih ingat betul ketika waktu itu bapak hanya memiliki satu raket, jadi
saya menggunakan penciduk nasi dari kayu yang besar (dalam bahasa Jawa disebut
“enthong”). Kami berdua bermain di depan rumah kadang juga di dalam rumah yang
sempit. Bapak saya termasuk orang yang gandrung badminton. Tapi karena waktu
itu beliau sibuk mengurus usaha baksonya jadi jarang mengembangkan hobinya.
Adik dari bapak saya pun juga memiliki darah badminton yang kental. Dia sering
ikut turnamen di gedung-gedung olahraga (GOR) dan tidak jarang mendapat juara.
Namun yang sedikit negatif dari dirinya adalah sering menggunakan kepiawaiannya
memukul shuttlecock untuk ajang taruhan. Entah dari mana darah badminton ini
mengalir ke keluarga kami. Terlebih keluarga bapak, dimana setiap saudara
laki-laki bapak cukup jago memukul maupun menangkis si bola bulu itu. Padahal
kakek saya mungkin belum mengenal apa itu badminton. Mungkin olahraga satu ini
merupakan olahraga rakyat waktu jaman bapak saya muda, jadi semua
berbondong-bondong bermain olahraga yang menyenangkan ini. Ditambah lagi
olahraga ini dari dulu selalu menjadi kebanggaan rakyat Indonesia karena selalu
mengharumkan nama bangsa diberbagai kejuaraan dunia. Jadi tidak heran kalau
sosialisasi olahraga ini begitu cepat diterima rakyat pada jaman itu. Boleh
dibilang ini adalah olahraga pemersatu bangsa. Bapak saya pernah cerita dulu
kalau tim Thomas Uber Indonesia bermain maka semua warga desa akan berkumpul di
balai desa untuk menontonnya. Dan jumlahnya warga waktu itu begitu banyak
sampai yang datang tidak bisa melihat tivinya dan hanya ikut-ikutan bersorak
saja. Benar-benar suasana yang menyenangkan.
Saya mulai ikut gandrung dengan olahraga ini ketika masih
SD, kira-kira kelas 3-4. Berbekal raket milik bapak saya yang sudah tidak
dipakai saya mulai bermain dengan teman lain yang memiliki raket. Rasanya
sangat menyenangkan ketika merasakan kok dapat kita pukul menggunakan raket.
Saya pun sering bermain di lapangan yang dibangun swadaya oleh warga desa,
maklum warga desa juga banyak penggila badminton jadi dibela-belain bangun
lapangan badminton. Setiap malam desaku selalu ramai dengan orang-orang yang mencari
keringat melalui badminton di lapangan terbuka dengan pencahayaan lampu neon di
sekelilingnya. Saya pun waktu itu hanya bisa menonton kebolehan para
bapak-bapak yang bermain. Sampai akhirnya ada kejuaraan badminton desa untuk
anak-anak kebetulan saya ikut berpartisipasi. Karena yang diperlombakan hanya
ganda putra, ya apa boleh buat maka pasangan diundi. Saya mendapat teman yang
sedikit lebih tua. Waktu itu kami berdua dijagokan bakal menang mudah
menghadapi lawan-lawan kami. Tapi di pertandingan pertama justru kami harus
menelan kekalahan. Namun dengan kegigihan, kami akhirnya memenangi setiap
pertandingan hingga akhirnya menjadi juara. Meski hanya di level kampung, tapi
bagi kami sudah suatu yang membanggakan apalagi yang nonton waktu itu begitu
banyak, sudah berasa di GOR besar saja.
Setelah itu saya dan teman-teman se kampung sering mencoba
bermain ke gedung olahraga. Dimana disana terdapat anak-anak yang berlatih
secara intensif dengan fasilitas yang lebih memadai. Tentu saja dengan
menggunakan raket bagus, sepatu yang bagus pula di tambah lapangan indoor
sehingga waktu bermain tidak perlu menunggu angin berhembus pelan dulu seperti
kami bermain di desa. Apalagi mereka dilatih oleh pelatih yang handal juga, ya
namanya juga sekolah badminton. Pernah terlintas untuk kepengen ikut seperti
mereka, namun apa daya biaya yang mahal waktu itu membuat aku tak berminat,
lebih baik main di lapangan kampung atau sesekali ke gedung jika gedung sedang
kosong. Saya pun menjajal para pemain yang ikut sekolah badminton tersebut, dan
ternyata kemampuannya tidak jauh berbeda dengan kami yang hanya bermain tanpa
sepatu, dengan kok butut, raket bekas dan lapangan outdoor. Bahkan saya sempat
mengalahkan satu diantara mereka. Suatu kebanggan tersendiri buat saya.
Sampai akhirnya saya masuk SMP saya pun vakum bermain badminton, dan bermain jika ada yang mengajak atau sekedar bermain di jalan untuk mencari keringat. Namun badminton tetap menjadi hobi saya, hobbi yang dari kecil tertanam dalam diri ini. Sampai akhirnya waktu kuliah dan sekarang saya sudah bekerja, saya masih menyempatkan untuk bermain. Untuk bernostalgia dengan impian masa kecil saya, untuk sekedar menyalurkan hobi dan untuk berolahraga agar badan sehat. Selain itu saya dedikasikan satu menu dalam blog ini untuk menampung segala sesuatu yang dapat saya share berhubungan dengan hobi saya yang satu ini. Badminton.
Sampai akhirnya saya masuk SMP saya pun vakum bermain badminton, dan bermain jika ada yang mengajak atau sekedar bermain di jalan untuk mencari keringat. Namun badminton tetap menjadi hobi saya, hobbi yang dari kecil tertanam dalam diri ini. Sampai akhirnya waktu kuliah dan sekarang saya sudah bekerja, saya masih menyempatkan untuk bermain. Untuk bernostalgia dengan impian masa kecil saya, untuk sekedar menyalurkan hobi dan untuk berolahraga agar badan sehat. Selain itu saya dedikasikan satu menu dalam blog ini untuk menampung segala sesuatu yang dapat saya share berhubungan dengan hobi saya yang satu ini. Badminton.
No comments:
Post a Comment