Jatimalang adalah nama sebuah dusun di desa Kateguhan,
kecamatan Tawangsari, kabupaten Sukoharjo. Mungkin di Indonesia tidak hanya dusun ini yang memiliki nama
“jatimalang”. Di daerah lain ada juga nama desa/dusun “jatimalang”, kalau tidak
salah di daerah Jawa Timur juga ada nama dearah bernama Jatimalang. Di Kebumen
juga ada daerah yang bernama Jatimalang. Bahkan di kabupaten Sukoharjo sendiri
terdapat juga 2 daerah yang bernama Jatimalang (yang satu di daerah Mojolaban
dan satu lagi ya yang ada di Tawangsari). Namun “jatimalang” yang akan saya ceritakan kali
ini adalah tanah kelahiranku yaitu Jatimalang, Kateguhan, Tawangsari,
Sukoharjo, Jawa Tengah (buat mempertegas saja).
Membaca uraian di atas, sepertinya nama Jatimalang sudah
sangat “ngetrend” untuk digunakan sebagai nama berbagai daerah. Entah siapa
dulu daerah yang mendeklarasikan nama Jatimalang ini tidak ada sumber yang
pasti (wa allahu alam). Setiap daerah
tadi pasti memiliki cerita/mitos/sejarah mengenai pengambilan nama “jatimalang”
sebagai nama daerah yang bersangkutan. Untuk sejarah nama daerah jatimalang
lainnya saya kurang tahu. Namun untuk asal usul nama Jatimalang kampung
halamanku ada sedikit cerita. Menurut almarhumah nenek saya, nama Jatimalang diambil
dari kata “jati” yang merupakan jenis
kayu dan kata “malang”(Jawa) yang berarti melintang/menghalang. Dulu konon
ceritanya ada sebuah kayu jati yang besar dan terbawa arus sungai hingga
menyebabkan jati tersebut melintang di sungai. Kontan masyarakat dulu langsung
menamai daerah terdapatnya jati yang melintang tersebut dengan nama Jatimalang.
Entahlah tentang kebenaran cerita itu (wa allahu alam).
Cukup mudah untuk menuju dusun Jatimalang ini, pokoknya
kalau sudah sampai Tawangsari cari saja tugu Tawangsari (patokan arah baku
orang Tawangsari) kemudian ambil jalan ke timur kurang lebih 200 m sudah
memasuki dusun Jatimalang ini. Sekilas memang tidak ada bedanya dengan dusun
sekitarnya. Namun di sisi lain menyimpan berbagai keunikan baik secara
geografis maupun adat istiadat. Keunikan pertama adalah dusun Jatimalang adalah
dusun yang memiliki wilayah terluas di se-desa Kateguhan (kalo se-Kecamatan
atau se-kabupaten kurang tahu ya peringkatnya). Karena luasnya tersebut, dusun
ini pun dibagi menjadi 4 RT. Keunikan
geografis lainnya dari dusun Jatimalang ini adalah wilayahnya dibelah oleh
sungai di tengahnya, sungai itu biasa disebut warga dengan Sungai Kedawung.
Sungai inilah yang menjadi ciri/simbol dusun ini. Setiap Agustus seringkali diadakan lomba
dayung di sungai tersebut untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.
Pada dasarnya daerah di Jatimalang didominasi lahan tegal/kebun
dan bahkan tidak ada lahan sawah sama sekali. Namun tidak sedikit warga yang
bermata pencaharian sebagai petani, kebanyakan dari mereka memiliki sawah di
luar wilayah dusun ataupun bekerja menggarap sawah orang lain. Mata pencaharian
yang dominan lainnya adalah menjadi perantau ke kota-kota besar. Di sana mereka
bekerja mulai dari berwirausaha hingga
karyawan. Selebihnya ada yang bekerja di seputar daerah Sukoharjo dan
sekitarnya.
Kehidupan sosial di Jatimalang masih menjunjung tinggi
gotong-royong. Setiap ada warga yang punya hajat ataupun ada yang meninggal.
Maka seluruh warga saling membantu menyiapkan segala keperluan. Sebagai
potretnya adalah ketika salah satu warga akan menikahkan anak perempuannya dan
akan mengadakan pesta pernikahan atau dikenal dengan “tarub”. Maka seluruh
elemen warga ikut berperan misalnya, para remaja bertugas mengedarkan undangan
ke berbagai desa dan menjadi pramusaji ketika pesta diadakan dalam bahasa Jawa
disebut “nyinom”. Para ibu-ibu saling baantu-membantu menyiapkan segala
keperluan yang berhubungan dengan dapur untuk disajikan pada tamu pesta, biasa
dikenal dengan istilah “rewang”. Sementara
kaum lelaki dewasa/bapak-bapak bertugas menyiapkan segala keperluan fisik terkait
“tarub” (membuat “kerun” yaitu semacam gapura gerbang dari bambu yang dibuat
khusu di depan orang yang hajatan, membuat anyaman dari daun kelapa/janur,
penataan kursi tamu, peminjaman keperluan tarub dll).
Di bidang kesenian,warga Jatimalang juga ikut "nguri-uri" (red: melestarikan) kebudayaan Jawa. Di dusun
ini ada perkumpulan gamelan yang bernama “Laras Madya” yaitu perkumpulan yang
beranggotakan bapak-bapak dan beberapa ibu-ibu yang berusia setengah baya
(bisa disebut generasi tua) yang tetap melestarikan budaya kesenian gamelan.
Beliau-beliau pun masih latihan rutin. Namun, sepertinya generasi muda kurang
tertarik dengan kesenian sejenis ini sehingga regenerasi pemain gamelan pun
sulit didapat.
Selain itu ada juga kesenian “ledekan” yaitu kesenian gamelan dengan diiringi tarian oleh wanita yang disebut “ledek”. Kesenian ini biasanya disebut sebagai acara bersih desa. Selain itu kearifan lokal yang masih membudaya hingga saat ini adalah “kondangan” yaitu doa bersama (secara Islam) yang dipimpin oleh seorang “modin” untuk kemudian setelah doa selesai dibagikan makanan kepada setiap yang ikut doa (biasanya berupa nasi, lauk, buah dll). Kondangan ini biasanya dilakukan rutin setiap sebulan sekali dan disebut “lapanan”. Kondangan juga dilakukan untuk acara “slametan” kelahiran, orang meninggal, menempati rumah baru, pernikahan, sunatan dll.
Selain itu ada juga kesenian “ledekan” yaitu kesenian gamelan dengan diiringi tarian oleh wanita yang disebut “ledek”. Kesenian ini biasanya disebut sebagai acara bersih desa. Selain itu kearifan lokal yang masih membudaya hingga saat ini adalah “kondangan” yaitu doa bersama (secara Islam) yang dipimpin oleh seorang “modin” untuk kemudian setelah doa selesai dibagikan makanan kepada setiap yang ikut doa (biasanya berupa nasi, lauk, buah dll). Kondangan ini biasanya dilakukan rutin setiap sebulan sekali dan disebut “lapanan”. Kondangan juga dilakukan untuk acara “slametan” kelahiran, orang meninggal, menempati rumah baru, pernikahan, sunatan dll.
Ya itulah secuil cerita dari kampung halaman saya. Kampung
dimana saya dibesarkan, kampung dimana dulu saya bermain dengan teman-teman, tempat penuh kedamaian dan ketentraman. Dari sini aku berawal dan
kesinilah aku kembali.