Sepenggal Cerita Tentang Adikku


       Sudah sejauh ini waktu berjalan, tak terasa kini ku semakin tua digerus usia. Setiap gelap malam datang menjemputku ke dalam buaian tidur yang lelap, seketika itu juga aku selalu menerawang jauh ke masa lalu dan masa depan. Malam ini, ketika tulisan ini aku ketik, tepat sesaat sebelum aku tidur. Tiba-tiba aku teringat tentang sosok kecil dan kurus. Ya dialah adikku, usiannya 12 tahun. Terlintas peristiwa siang dan sore tadi. Siang tadi, sepulangnya ia dari sekolah, kami pun bercanda ria. Saling mengejek dan beradu tangan, setelah itu dia bergegas menuju meja belajar. Katanya sih mau belajar. Tumben hari ini selepas sekolah dia langsung belajar, biasanya langsung merenggek minta bermain game. Dia memang anak yang unik. Terkadang dia nurut sekali,  meskipun sebenarnya ada maunya. Namun tidak jarang dia keras kepala minta ampun sampai apa saja bakal dilawannya. Tapi yang saya salut dari dirinya adalah dia sudah dapat mencerna dan mudah bila diberi penjelasan, bahkan penjelasan itu sebenarnya untuk pikiran seseorang yang sudah dewasa. Maksud saya adalah cara berpikirnya bisa dikatakan jauh melebihi umurnya, tentunya cara berpikir yang positif. Motivasi dan rasa ingin tahunya juga sangat tinggi. Tapi kadang-kadang selalu angin-anginan (moody). Ya sedikit seperti saya.[....]
       Sementara dia belajar, aku kembali sibuk dengan laptop dan blog baru ini. Kalau sudah di depan monitor seperti itu, aku pun sudah tidak ingat waktu lagi. Tak terasa petang mulai datang. Adikku yang tadi belajar pun sudah duduk dan tiduran di tempat tidur sambil memandangiku mengotak-atik blog ini. Dengan sesekali menjahili dan selalu banyak bertanya tentang ini itu sampai aku tak bisa menjawabnya. Setelah sedikit bosan memandangi layar monitor. Aku pun mencuci muka dan wudhu untuk sholat Ashar. Sholatku ngaret dan tidak sesuai jadwal yang ditentukan. Itu pun juga disindir adikku. Aku yang selama ini menyuruhnya sholat tepat waktu, justru sholatnya seenaknya. Setelah sholat aku pun mengajaknya bermain game. Kami sering bermain game, bahkan hampir tiap hari. Saling teriak histeris, saling mengejek dan saling berbuat curang dalam bermain,. Bahkan pernah sampai dia menangis gara-gara bermain game.
    Hari pun semakin petang. Sinar matahari sudah menghilang dan berganti menjadi gelap. Lampu-lampu rumah mulai dinyalakan oleh bapak. Suara adzan Maghrib pun sudah mulai berkumandang.  Game yang kami pegang berdua tadi pun kami lepaskan dan bergegas untuk mandi. Sambil bercanda dan seperti biasa beradu tangan dan main pukul-pukulan kami lakukan. Sampai terkadang dia tidak terima dengan perlakuanku, mungkin karena pukulanku lebih keras dibanding dengannya meskipun saya tidak benar-benar memukul. Sampai pada petang itu kami beradu mulut dan melebar ke berbagai hal. Sebenarnya juga tidak pantas usia ku yang sudah berkepala dua ini bertengakar adu mulut dengan anak seusia itu. Tapi itulah aku, jiwa kekanak-kanakan sesekali muncul. Apalagi bila sudah bersama anak-anak kecil, seakan ingin rasanya kembali kecil lagi. Kembali tanpa beban yang semakin tua semakin bertambah berat. Sampai akhirnya kami berdua saling marah, dan sifatnya yang liar pun keluar. Tidak memandang aku sebagai kakaknya, dia pun tetap melawan perkataanku dan seakan mengajak benar-benar berkelahi. Dari situ pun aku langsung menyentil pipinya dan membentaknya untuk menyuruh dia mandi karena sudah malam. Dia pun menangis kesakitan dan bergumam sendiri dalam kamar mandi. Pastinya bergumam tentang perlakuan kakaknya tadi.
       Setelah mandi dan sholat maghrib, kami tidak bertegur sapa. Dia langsung menuju meja belajarnya untuk membaca buku dan aku pun kembali ke layar monitorku. Rasa bersalah pun hinggap di perasaanku. Meskipun aku merasa apa yang aku lakukan tadi adalah hal terbaik agar suasana petang itu tidak bertambah ribut dan ramai. Aku pun mendekati dia yang sedang membaca. Tapi ketika aku mendekat dia memalingkan wajahnya. Dengan sesekali aku bertanya, dia hanya menjawab dengan ketus. Aku pun mencoba melihat bekas sentilanku tadi. Ternyata agak berbekas dipipinya dan matanya terlihat sedikit merah. Akupun kasihan dan merasa bersalah. Aku ulurkan tanganku untuk meminta maaf, tapi ia tidak mau, ia bersih keras tidak mau memaafkan. Sampai aku pun berkata membawa nama Tuhan untuk meminta maaf kepadanya. Kami pun kembali ke suasana ceria di siang tadi sambil makan malam dan nonton tv bersama bapak.
Kid, i just wanna you will be the man who better than me. Forgive me for any mistakes that i did. Grow up with your spirits. Survive in your life. And i hope you will be  the best man in our family moreover in this life. God Bless You. Good Luck.....!